Nov 2, 2009

Romance of Two Brothers - 2



Romance of Two Brothers - 2

Waktu itu matahari sudah di atas kepala dan artinya sudah tengah hari, kami berhenti di pinggir sungai dan membuka bungkusan makanan kami. Kakak segera menangkap ikan di sungai yang kebetulan ikannya banyak sekali. Kakak dengan cekatan membuat api dengan menggosokkan kayu dengan kayu. Kami langsung membakar ikan tersebut dan makan dengan lahapnya. Setelah istirahat sebentar kami pun melanjutkan perjalanan. Akhirnya sampailah kami ke sungai dengan airnya yang agak tenang dan dalam. Kakak mendapat akal untuk membuat rakit dari gelondongan kayu yang ada. Beberapa batang kayu kami ikat dengan akar membentuk rakit sederhana.

"Dengan rakit ini kita tidak lagi susah berjalan. Pasti di hilir sungai nanti kita akan berjumpa perkampungan," kata kakakku.

Begitulah, setelah rakit siap kami pun menaikinya dan mulai melaju ke hilir sungai. Kakak bertugas mengemudikan rakit dengan sebatang kayu galah, sedangkan aku membantu mengayuh dengan kayu. Pendek cerita, akhirnya kami menemukan sebuah gubuk di pinggir sungai. Kakak segera menepikan rakit dan kami pun mendarat ke tebing dengan baik. Setelah kami sampai di darat, kami pun menuju gubuk tersebut. Kami melihat pintu gubuk tutup dan kami mengitarinya mencari jika ada orang di sekitar gubuk tersebut. Ternyata di sekeliling gubuk itu tidak ada orang. Kami pun istirahat sebentar di samping gubuk itu. Setelah beberapa saat kami mendengar suara batuk seseorang dari dalam gubuk. Kami terkejut dan seketika tersentak dan berdiri. Oh, ada orang rupanya.

"Maaf, ada orang di dalam?" tanya kakakku.

Kami dengar suara pintu berdenyit dan kemudian terbuka. Kami melihat sosok orang tua di depan pintu. Pria tua berjenggot dan berkumis tebal. Ketika melihat kami dia begitu terkejut dan bertanya:

"Kalian dari mana?"
"Kami dari hutan Pak, kami mau cari tukang obat," jawab kakak.
"Ke sini masuk dulu, kalian harus ganti pakaian," kata Bapak tua itu.
"Tapi, kami tidak punya yang bagus Pak," jawab kami.
"Masuk saja, nanti Bapak yang kasih," katanya lagi.

Kami pun masuk dan disuruh mandi, kemudian kami diberikannya pakaian seadanya. Rupanya Bapak tua itu telah kehilangan anak mereka dan dia begitu baik kepada kami. Kami bahkan disuruh menginap di sana, namun kami menolaknya, karena kami harus mencari dukun. Bapak tua itu hanya menanyakan siapa yang sakit, namun tidak ditanyakannya apa penyakitku. Lalu, oleh Bapak tua itu kami dianjurkan untuk terus ke ujung kampung yaitu rumah yang paling ujung. Di sana katanya ada seseorang yang selama ini dianggap sebagai dukun di kampung itu.

Kami pun meneruskan perjalanan ke rumah yang dimaksud Bapak tua itu. Hari sudah mulai senja dan matahari sudah hampir terbenam. Akhirnya kami pun sampai ke rumah yang dimaksud setelah melewati 3 buah rumah lainnya. Jarak satu rumah dengan yang lainnya berjauhan. Rumah dukun tersebut terbuat dari kayu dengan dindingnya dari anyaman rotan dan atapnya dari daun-daun yang disusun rapi. Pintu rumah dalam keadaan terbuka dan di dalamnya kelihatan gelap karena sedikitnya cahaya yang masuk akibat rindangnya pepohonan di sekitar rumah tersebut. Kakak segera memanggil orang di dalam rumah jika ada. Kami mendengar suara batuk seseorang dan derap langkah seseorang menuju pintu rumah.

Suara langkah terdengar karena lantai rumah tersebut terbuat dari kayu dengan tinggi lantai dari tanah kira-kira satu meter. Seorang lelaki setengah baya muncul dengan hanya memakai kain sarung dan tanpa baju. Kami dipersilakan untuk masuk ke rumah gubuk tersebut. Kami disuruh duduk di atas tikar rotan yang sudah terbentang sementara dia terus ke belakang. Kami memperhatikan gubuk tersebut yang terdiri dari satu buah bilik yang berdindingkan anyaman bambu, satu ruang dapur dan satu ruang lapang di tengah.

Ada sebuah meja dari kayu dengan jalinan rotan yang rapi dengan dua buah kursi rotan. Di sebelahnya ada lagi semacam ranjang dari rotan yang kelihatannya hanya muat untuk satu orang. Saya pikir ini sebagai tempat dukun tersebut istirahat siang. Sang dukun muncul dari belakang dengan memakai baju namun tetap memakai kain sarung. Dia duduk di depan kami dengan bersila dan mulai melakukan pembicaraan.

"Kalian dari mana sehingga senja begini sampai ke sini?" tanyanya ramah sambil tersenyum.

Tidak ada kesan angker dari nada bicaranya.

"Kami sudah melakukan perjalanan dari tadi pagi dan sampai ke sini karena ada maksud hati kami yang ingin kami sampaikan," jawab kakak dengan nada datar.
"O, silakan sampaikan saja," jawabnya lagi.
Setelah basah seluruhnya, dia pun mengoleskan batangan sabun tadi ke tubuhku mulai dari tanganku. Ada perasaan aneh lagi yang muncul setiap kali dia menggosokkan sabun ke badanku. Perasaan aneh ini sangat terasa sekali ketika batangan sabun dioleskan ke payudaraku yang bengkak itu. Perasaan geli yang sangat menyebabkan putik pinangku menjadi mengeras. Begitu sabun dioleskan, tangannya pun bermain mengelus lembut kulit tubuhku.
Aku perhatikan sang dukun berbadan gagah dengan kumis tipis dan jenggot yang mulai tumbuh sedikit. Kulitnya hitam manis seperti berminyak, mungkin karena dia pekerja keras. Lengan dan kakinya berotot dan rambutnya hitam lurus namun dipangkas sedang. Secara keseluruhan badannya cukup atletis. Penilaian ini hanya aku buat akhir-akhir ini, karena pada waktu itu aku hanya terbengong-bengong saja sebab seumurku belum pernah melihat orang seperti dia. Aku hanya bisa kagum dan terheran-heran. Mungkin dia mengerti dengan keadaanku ini. Aku jelas dapat melihat bahwa matanya selalu melirik ke arahku.

"Oh, iya, saya lupa, namaku Atin. Orang biasa memanggilku Bang Atin," katanya lagi sambil memperkenalkan diri.

Seterusnya kami pun memperkenalkan nama kami. Kakakku mulai menceritakan keadaan kami dan tentunya keadaan aku yang kata kakakku tidak normal. Rupanya selama hidup di hutan, banyak kata-kata yang kami tidak mengerti dari yang disampaikan oleh Bang Atin. Bang Atin pun menceritakan bahwa dia pernah mempunyai teman hidup namun saat ini sudah meninggal seperti orang tua kami. Entah mengapa kami merasa seperti senasib saja.

Bang Atin dalam bercerita amat simpatik sekali sehingga kami merasa senang dan akrab. Hari sudah mulai malam dan kami pun ditawarkan untuk makan malam bersama Bang Atin. Kami tentu saja bersedia karena memang sudah lapar sekali. Setelah itu kakakku, Antan, ditawarkan mandi dulu baru tidur sedangkan aku harus mandi dulu sebelum pengobatan dilakukan. Akan lebih baik apabila aku mandi dengan diarahkan oleh Bang Atin. Itu yang dikatakan oleh Bang Atin. Setelah selesai kakakku mandi maka pembicaraan tentang pengobatanpun dimulai.

"Ini Munah, aku panggil adik saja, ya! Pengobatannya tidak bisa hanya satu hari saja. Sekurang-kurangnya harus tiga hari. Kalian boleh tinggal di sini sampai pengobatannya selesai. Pengobatannya tidak perlu dibayar. Pengobatannya akan lebih baik dilakukan pada malam hari," kata Bang Atin.
"Yah, kalau memang begitu tidak apa-apa, yang penting adikku bisa sehat," jawab kakakku.
"Tetapi dia tidak bisa langsung sehat, perlu beberapa minggu baru pulih, dan yang penting kalian nanti bisa mengerti bagaimana cara menjaga kesehatannya. Aku akan ajarkan Munah nanti cara-cara olah tubuh untuk menjaga kesehatannya." kata Bang Atin lagi pada kakakku.

Aku hanya diam saja karena tidak begitu mengerti, apalagi dengan kata-kata "olah tubuh" yang diucapkannya itu. Aku bersedia diobatinya karena aku ingin betulbetul sehat. Hari sudah berangkat malam, suara jengkrik dan belalang malam pun mulai bersahutan. Kakakku ditawarkan oleh Bang Atin untuk tidur di atas ranjang rotan yang terletak di ruang tengah. Langsung kakakku tidur karena mungkin dari tadi sudah lelah. Bang Atin, sang dukun, menyelimuti kakakku dengan selembar kain panjang. Tidak lama berselang suara dengkur kakakku pun mulai terdengar. Bang Atin mulai berbicara kepadaku tentang cara-cara pengobatan yang akan dilakukannya.

"Munah, kamu harus mandi dulu, Abang akan membantu kamu membersihkan tubuhmu, supaya penyakit tidak mudah lengket," katanya.

To be Continued.....

0 komentar:

Post a Comment

 

Indonesia Hot Stories Copyright © 2009 Community is Designed by Bie